BeritaPajak

Menjawab Tantangan Atas Transfer Pricing dan Treaty Shopping

DDTCNews
Menjawab Tantangan Atas Transfer Pricing dan Treaty Shopping
Menjawab Tantangan Atas Transfer Pricing dan Treaty ShoppingGambar: news.ddtc.co.id

DI tengah arus globalisasi, perusahaan multinasional (MNC) mengambil peran penting sebagai penggerak ekonomi. Mereka berinvestasi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan perdagangan lintas batas.

Namun, di balik kontribusi tersebut, terselip praktik yang sering kali merugikan perekonomian negara berkembang. Penggerusan basis pajak dan pengalihan laba atau base erosion and profit shifting (BEPS) adalah masalah utamanya.

Melalui berbagai skema, mulai dari transfer pricing yang tidak wajar hingga treaty shopping yang memanfaatkan celah perjanjian pajak internasional, penerimaan negara jadi tergerus.

Ironinya, praktik ini kerap dibungkus dengan justifikasi bisnis. Padahal dampaknya sangatlah nyata, yaitu hilangnya potensi penerimaan pajak negara yang krusial bagi pembangunan dan akan menimbulkan ketidakseimbangan fiskal.

Transfer pricing pada dasarnya adalah mekanisme yang sah: penentuan harga transaksi antar entitas dalam satu grup usaha. Namun, ketika harga ditetapkan tidak wajar ( arm’s length principle diabaikan), praktik ini berubah menjadi instrumen penghindaran pajak.

Contohnya, perusahaan anak di Indonesia menjual produk ke perusahaan afiliasinya di negara bertarif pajak rendah dengan harga murah. Laba di Indonesia mengecil, sementara keuntungan 'mengalir' ke yurisdiksi lain. Secara hukum terlihat rapi, tetapi secara substansi fiskal, Indonesia kehilangan hak pemajakan.

Inilah dilema besar: transfer pricing bisa menjadi strategi efisiensi bisnis, tapi juga senjata penggerusan pajak yang melemahkan kapasitas fiskal negara.

Selain transfer pricing , praktik treaty shopping kerap dimanfaatkan. Melalui perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), perusahaan asing seharusnya terlindungi dari pajak berganda dan memperoleh kepastian hukum. Namun, banyak MNC yang 'berbelanja' yurisdiksi, mendirikan perusahaan cangkang (shell company) di negara yang memiliki P3B lebih menguntungkan dengan Indonesia.

Akibatnya, tarif pajak atas dividen, bunga, atau royalti bisa ditekan seminimal mungkin, bahkan hingga nol. Indonesia pun kehilangan hak pemajakan yang seharusnya diperoleh. Situasi ini tidak hanya merugikan penerimaan, tetapi juga melukai prinsip keadilan fiskal: perusahaan besar lolos dengan celah hukum, sementara wajib pajak lokal tetap menanggung beban penuh.

Praktik BEPS menimbulkan ketidakseimbangan fiskal yang serius. Di satu sisi, pemerintah butuh ruang fiskal untuk membiayai infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan program sosial. Namun, penerimaan dari sektor pajak justru bocor karena praktik penghindaran.

Negara maju dengan administrasi pajak yang lebih kuat masih bisa mengejar, tetapi negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan besar. Ketika penerimaan berkurang, pilihan fiskal menyempit: menambah utang atau membebani wajib pajak domestik yang sudah patuh.

Pada akhirnya, hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

Melawan BEPS bukan berarti anti-investasi. Justru, praktik perpajakan yang adil akan menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan berkelanjutan. Ada beberapa langkah solutif yang dapat ditempuh.

Pertama , implementasi Pilar 1 dan Pilar 2 OECD/G-20. Salah satu solusi kunci untuk mengurangi praktik pengalihan laba adalah implementasi Pilar 1 dan Pilar 2 dalam kerangka OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS .

Dengan adanya global minimum tax sebesar 15%, perusahaan multinasional akan tetap dikenai pajak meskipun mereka memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak rendah. Skema ini mengurangi insentif bagi perusahaan untuk melakukan praktik tax haven dan profit shifting.

Kedua , penguatan kapasitas DJP. Pengawasan transfer pricing harus ditopang dengan teknologi analisis data, automatisasi audit, dan pemanfaatan Country-by-Country Reporting (CbCR). Pertukaran informasi antarnegara juga perlu diperkuat agar praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi bisa lebih cepat terdeteksi.

Ketiga , penerapan anti-treaty shopping rule. Indonesia perlu memperluas penggunaan principal purpose test (PPT) dalam P3B. Dengan demikian, hanya transaksi yang memiliki tujuan bisnis nyata yang berhak atas manfaat perjanjian, sementara skema artifisial untuk menghindari pajak dapat ditolak.

Keempat , kolaborasi internasional. Karena sifatnya yang lintas batas, masalah BEPS tidak mungkin diselesaikan oleh satu negara saja. Kerja sama internasional menjadi kunci utama.

Indonesia harus terus aktif dalam forum G-20, OECD, dan Inclusive Framework untuk memperjuangkan kepentingan negara berkembang dalam arsitektur pajak global. Kolaborasi juga perlu diperluas melalui perjanjian pertukaran informasi, joint audit, serta mekanisme kerja sama teknis antarotoritas pajak.

Transfer pricing dan treaty shopping hanyalah 2 wajah dari fenomena besar berjuluk BEPS. Praktik ini memang tampak teknis, tetapi dampaknya terasa nyata: penerimaan negara terkikis, pembangunan terhambat, dan ketidakadilan fiskal semakin menganga.

Jika reformasi perpajakan tidak terus didorong, negara berkembang akan selalu berada di posisi lemah, menanggung beban tanpa memperoleh manfaat yang layak. Oleh karena itu, melawan BEPS bukan sekadar menjaga angka penerimaan, melainkan juga menjaga fondasi keadilan dan keberlanjutan fiskal untuk generasi mendatang.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 202 5 . Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC . Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini .

Rujukan asli berita ini

Kami menambahkan konteks dan ringkasan. Baca versi lengkapnya di news.ddtc.co.id.

Baca Versi Asli
Bagikan
XWhatsAppLinkedIn
Menjawab Tantangan Atas Transfer Pricing dan Treaty Shopping | BeritaPajak